Mungkin selama ini banyak protes kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya karena kebijakan aneh yang mereka terapkan pada dunia pertelevisian Indonesia seperti pada kasus terbaru mereka yang mengizinkan Saipul Jamil tetap tayang di televisi seperti diketahui, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio menegaskan bahwa Saipul Jamil bisa tampil di televisi hanya untuk konteks edukasi.

Hal ini sesuai dengan surat edaran yang telah dikirimkan oleh KPI pada lembaga penyiaran seperti televisi.”Dia (Saipul Jamil) bisa tampil untuk kepentingan edukasi,” ucap Agung sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Deddy Corbuzier, Kamis (9/9/2021). Namun ingatkah kita bahwa kasus ini ditindaklanjuti hanya karena kasusnya sudah viral? Karena banyak yang tidak setuju atas kehadiran kembali Saipul Jamil ke kancah pertelevisian Indonesia.

Masih menyangkut kasus yang ditindaklanjuti hanya karena viral semata adalah sinetron berjudul “Zahra” bagaimana sinetron yang mengandung unsur dewasa dan pedofilia seperti itu dapat lolos tayang di televisi sedangkan seperti kita tahu penonton di Indonesia sangat beragam bisa saja ditonton oleh anak dibawah umur lainya yang berujung akan menggiring pola pikir mereka jika menikah dibawah umur itu boleh, phedopilia itu wajar, dan perselingkuhan itu hal biasa.

Kemudian pada saat wawancara yang sama dengan kasus Saipul Jamil ketua KPI juga menanggapi mengenai kartun yang disensor “Gue minta di forum ini kepada semua industri penyiaran televisi untuk tidak memblur kartun, menyensor kartun, tampilkan apa adanya,” ujar Agung saat menjadi tamu di acara podcast Deddy Corbuzier, Kamis (9/9/2021).

Seperti diketahui dalam beberapa tayangan film kartun di televisi, sering ada sensor. Agung mencontohkan karakter Shizuka dalam serial Doraemon yang terkena sensor karena menggunakan bikini. “Gue kaget banget. Itu bukan KPI,” ujar Agung. Sementara untuk tayangan sinetron atau film, Agung menjelaskan, semua sensor diserahkan kepada Lembaga Sensor Film (LSF). KPI memang telah mengeluarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) pada 2012 yang mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh ditayangkan lembaga penyiaran, seperti larangan penayangan adegan kekerasan dan pornografi. Tampaknya, beberapa stasiun televisi dan Badan Sensor Film (BSF) menafsirkan pasal ini terlalu jauh.

Kemudian jika benar memang itu yang melakukan LSF kenapa tidak segera ditegur kenapa semua permasalahan harus menunggu viral, apakah saat pemberiaan peraturan itu tidak diberikan sosialisasi terlebih dahulu sehingga banyak pihak yang salah tangkap?

Dalam teori organisasi dijelaskan kinerja sebuah organisasi publik salah satu tolok ukurnya adalah penilaian konsumen dan konsumen KPI adalah seluruh masyarakat Indonesia yang menonton televisi jika banyak kritikan yang hadir makan seharus nya lebih mudah bagi mereka evaluasi. Namun bagaimana mereka akan memberikan sesuatu yang memuaskan konsumen jika bobroknya itu terletak pada sumber daya manusia dan sikap mental mereka. Seseorang akan mau melakukan evaluasi jika mental mereka baik dan mau menerima saran.

Dari banyaknya problem yang mengitari KPI, beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan kasus pelecehan dan perundungan yang terjadi di dalam internal KPI dimana sebenarnya kasus nya sudah terjadi sejak 9 tahun lalu namun baru ditangani sekarang Peristiwa ini sendiri bermula sejak 2012. MS mengaku setiap hari mengalami perundungan dari atasannya saat bekerja di KPI Pusat. Selain dirundung, MS juga pernah mengalami pelecehan seksual pada 2015, atau enam tahun lalu. Para pecundang, kata dia, pernah menelanjangi dan mencoret bagian organ intimnya dengan spidol.

MS mencoba mendatangi Komnas HAM untuk melaporkan peristiwa pelecehan pada 2017. Namun berdasarkan penilaian Komnas HAM saat itu, peristiwa tersebut masuk bentuk pidana sehingga harus ditangani oleh polisi. Pada 2019, korban sempat mendatangi Polsek Gambir untuk membuat laporan terkait namun tak mendapat perhatian petugas yang memintanya menyelesaikan secara internal.

Kasus dugaan pelecehan ini baru mendapat penanganan polisi  usai viral di media sosial. Polres Metro Jakarta Pusat pun menerima laporan MS pada Rabu 1 september 2021. Namun para pelaku perundungan dan pelecehan ini malah mengancam Melaporkan kembali MS dengan tuduhan pencemaran nama baik. “Unsur-unsur pidananya akan kami pelajari, misalnya, pertama, membuka identitas pribadi secara tanpa hak, itu sudah melanggar UU ITE. Kemudian terjadi cyber bullying terhadap keluarga,” jelas Tegar sebagai kuasa hukum pelaku.

Namun untungnya hal ini dapat ditangkal oleh kuasa hukum MS “Kami melihatnya sebagai upaya untuk menjatuhkan moral dan keberanian korban,” tegas Mualimin sebagai kuasa hukum MS. “Itu keterlaluan orang pelaku melakukan itu bilangnya bercandaan. Padahal korban merasa itu bukan bercanda bahkan itu menghancurkan psikis dia, masa begitu bercanda,” tegas Mualimin.

Bukan kan sampai disini saja sudah cukup membuktikan sikap mental yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang pernah mereka lakukan. Pada tulisan MS yang viral di sana dia menulis “Tahun 2015, mereka beramai-ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencorat-coret buah zakar saya memakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi,” terlihat bukan para pelaku ini tidaklah memiliki rasa tanggung jawab sebuah candaan tidak bisa disebut candaan jika salah satu pihak merasa dirugikan.

Untunglah ada undang undang yang melindungi MS sebagai pelapor Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo, menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban seharusnya hal tersebut tidak bisa dilakukan. Sebab saksi atau korban yang sedang menjalani proses hukum tidak dapat dituntut.

Padahal disini korban sudah memiliki itikad baik untuk menyelesaikan dengan cara para pelaku meminta maaf namun proses hukum tetap dilakukan namun mereka dengan tidak bermoral malah melaporkan balik korban.

Dalam hal ini KPI seharusnya bisa mengambil pembelajaran mulai mendengarkan keluhan keluhan dari bawahannya, jika ada pengaduan berarti ada masalah segeralah mulai ditelusuri ini bukan sarana untuk memanjakan pegawai namun untuk memberi kesejahteraan. Terkait kasus pelecehan ini seharusnya mereka memberikan respon yang tegas karena melalui pengakuan korban yang sudah mengadu pada atasannya kasus ini hanya di sepelekan, bahkan kasus perundungan dan pelecehan ini sudah terjadi dari 9 tahun silam lamanya.