Semenjak 2013 warga Desa Wadas sudah mulai mendengar kabar mengenai agenda besar berupa rencana pembangunan bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, dan dalam proyek tersebut Desa Wadas akan menjadi salah satu desa yang terdampak pembangunan bendungan tersebut, yang kelak akan difungsikan sebagai areal pertambangan kuari yang digunakan sebagai uruk bendungan. Desa Wadas dapat dikatakan sebagai desa yang produktif karena setiap tahunnya menghasilkan berbagai macam produk pertanian seperti rempah-rempah, palawija, kopi, karet, buah-buahan, dan aren. Akan tetapi semua itu terancam dengan rencana penambangan kuari di sana. Rencana penambangan ini pun mengalami penolakan yang dilakukan oleh warga Desa Wadas yang khawatir apabila pembangunan tersebut akan merusak lingkungan dan bentang alam yang ada di sana.

Pada tahun 2018 BBW Serayu Opak melakukan sosialisasi terhadap warga Wadas. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak atau BBW Serayu Opak yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai yang meliputi penyusunan program, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi, dan pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada sungai, pantai, danau, bendungan, situ, embung, dan tampungan air lainnya. Mayoritas warga menyatakan menolak rencana tersebut pada saat sosialisasi mengenai rencana penambangan kuari di desa Wadas dilakukan. Akan tetapi melalui sosialisasi yang manipulatif tersebut, BBW Serayu Opak menjadikan tanda tangan daftar hadir peserta sosialisasi sebagai bukti persetujuan mengenai rencana penambangan tersebut dan bahkan pada Juni 2018 pemerintah menerbitkan surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 59/41 tahun 2018 tentang persetujuan penetapan lokasi pengadaan Tanah bagi pembangunan Bendungan Bener.

Penambangan kuari sendiri merupakan penambangan terbuka dengan dikeruk tanpa bersisa yang direncanakan berlangsung selama 30 bulan yang dilakukan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter. Tambang kuari batuan andesit untuk Bendungan Bener rencananya akan diproduksi sebanyak 400.000 meter kubik setiap bulannya. Berdasarkan relief topografisnya Desa Wadas terletak di wilayah perbukitan di mana aktivitas pertambangan yang direncanakan dengan cara pengerukan area perbukitan yang ada di sana hanya akan menimbulkan krisis ekologis yang dapat diartikan sebagai pengusiran ruang hidup masyarakat setempat.

Warga Wadas yang memprotes mengenai penambangan kuari tersebut berdalih bahwa penambangan tersebut hanya akan menghancurkan wilayah perkebunan dan lahan pertanian mereka. Pengerukan bukit hanya akan meninggalkan kerusakan bentang alam sedangkan itu merupakan lahan perkebunan dan pertanian yang produktif bagi warga. Bahkan salah seorang petani durian bisa mendapatkan 25 juta per tahun dari hasil menjual buah durian. Selain itu warga menolak kegiatan penambangan tersebut mereka menilai bahwa kegiatan yang akan dilakukan sudah cacat prosedural sejak awal yaitu tidak adanya sosialisasi dan kajian lingkungan yang dilakukan. BBW Serayu Opak (pemrakarsa Proyek) menempelkan spanduk di desa-desa yang akan terdampak pembangunan akan tetapi tidak memasangkan spanduk di Desa Wadas sebagai desa yang terdampak padahal di dalam AMDAL jelas mencantumkan dan memproyeksikan Desa Wadas sebagai areal penambangan kuari yang akan digunakan sebagai uruk bendungan. Kecacatan prosedural ini juga terlihat dalam AMDAL yang digunakan yaitu dengan menggabungkan antara pembangunan Bendungan Bener dengan penambangan guarry yang akan dilakukan di Desa Wadas padahal apabila mengacu pada peraturan menteri (permen) Lingkungan hidup (LH) Nomor 5 tahun 2012 semestinya pemotongan bukit dengan volume lebih dari 500.000 meter kubik harus memiliki AMDAL tersendiri.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga Wadas untuk menolak dan membatalkan rencana  penambangan kuari di wilayah mereka seperti mengunjungi kantor bupati Purworejo, kantor BBW Serayu Opak hingga kantor gubernur Jawa Tengah. Akan tetapi semua yang dilakukan oleh warga belum berhasil dan bahkan perjuangan warga Desa Wadas semakin terasa berat dengan disahkannya UU Cipta Kerja dan berbagai macam peraturan turunannya yang berimplikasi terhadap kemudahan yang diberikan kepada pihak pengembangan untuk melakukan pengubahan lahan pertanian maupun perkebunan yang akan digunakan atau dibangun sebagai proyek strategis nasional dengan adanya kemudahan dan dasar hukum Cipta Kerja ini akan mengancam meningkatnya konflik agraria di Indonesia tak terkecuali seperti yang dialami oleh Desa Wadas saat ini.

Kemudahan-kemudahan dalam rangka konversi lahan telah diatur dalam UU cipta kerja misalnya saja UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja semakin memberikan kemudahan dalam pengadaan serta alih fungsi lahan yang digunakan sebagai proyek strategis nasional. Warga yang berjuang mempertahankan haknya semakin terpojok dengan aturan yang ada. PP Nomor 26 Tahun 2021 perihal penyelenggaraan bidang pertanian, dalam pasal 103 ayat 2 menyebutkan bahwa “Untuk kepentingan umum dan atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat 1 dapat dialih fungsikan.” Selain itu dalam pasal 129 ayat 1 menyebutkan bahwa pengadaan tanah yang digunakan sebagai proyek strategis nasional maka dalam pelaksaannya diprioritaskan.

Pemerintah mengklaim dengan pengesahan UU Cipta Kerja ini akan mampu membuka kran investasi sebesar-besarnya di Indonesia dengan cara memberikan segala bentuk kemudahan dalam hal proses perijinan dalam kegiatan berusaha. Pemerintah berharap dengan demikian maka perekonomian Indonesia akan meningkat. Pengesahan UU Cipta Kerja secara hukum berupaya memangkas berbagai bentuk regulasi yang digunakan yang dilakukan dengan cara menghilangkan sumber sumbatan atau hambatan yang ada apabila ingin melakukan investasi. Pemerintah mengasumsikan ekonomi Indonesia akan terpuruk apabila tidak ada investasi yang masuk. Apabila menyimak apa yang ditemukan oleh KPK terlihat jelas bahwa yang menjadi penghambat investasi adalah kegiatan korupsi. Bahkan dalam salah satu laporan KPK tahun 2017 menyebutkan 70% kepala daerah didukung oleh kepentingan korporasi atau pihak swasta  hal ini menunjukkan bahwa korupsi struktural SDA karena ada sistem dari koruptor yang digunakan untuk dapat mengutamakan kepentingan golongan.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah terkesan terburu-buru dalam pengesahan RUU cipta kerja. Dengan segala bentuk kemudahan perijinan yang ditawarkan dengan dalih investasi . Bukankah dengan segala bentuk kemudahan yang ditawarkan justru semakin meningkatkan potensi atau praktik korupsi yang ada. Dengan situasi yang demikian maka sangat diperlukan adanya judicial review terhadap UU Cipta Kerja. Jangan sampai UU ini dan dengan segala bentuk peraturan turunannya yang memberikan segala bentuk kemudahan dalam berinvestasi justru memberikan kerugian dan dampak buruk bagi rakyat serta lingkungan alam. Pemerintah selaku pemimpin negara seyogyanya mengayomi dan melindungi rakyatnya dan mementingkan kepentingan umum bukan malah hanya membela kepentingan korporasi atau swasta. Jangan sampai ada Desa Wadas lain yang dirampas hak-haknya oleh negara.