Definisi dari kekerasan seksual secara general yaitu serangkaian aktivitas seksual yang sifatnya berupa paksaan atau dilakukan tanpa persetujuan. Aktivitas tersebut dapat berupa kontak seksual seperti cumbuan dan ciuman, pemaksaan seksual secara verbal, percobaan maupun pemerkosaan lengkap. Semenara itu, kekerasan seksual di kampus maksudnya kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga perguruan tinggi dan segala hal yang berkaitan dengan lembaga tersebut. Dapat diartikan, kasus kekerasan seksual terjadi di kampus dan/ atau dilakukan oleh terhadap sivitas akademia atau terjadi di luar kampus dalam acara resmi, seperti KKN, magang, atau acara kemahasiswaan.
Belakangan ini sering kali kita melihat kasus kekerasan seksual di area kampus yang pelakunya merupakan kalangan sesama mahasiswa bahkan dosennya sendiri. Kasus yang semakin meningkat ini bukan berarti baru saja terjadi, tetapi kejadiannya bisa sudah bertahun-tahun lalu, para korban tidak berani mengungkapkannya karena berbagai alasan seperti mendapat ancaman dari pelaku, seperti membuka aib sendiri, takut menghadapi tanggapan masyarakat karena dianggap kotor, terlebih lagi masih belum ada hukum yang jelas untuk melindungi korban kekerasan ini, mereka mencoba meminta bantuan ke lembaga yang berwenang juga tidak membantu sama sekali justru memperumit keadaan.
Harapan mereka kuliah untuk menuntut ilmu dikacaukan oleh kejahatan para pelaku seksual ini. Ada kasus yang sudah lama terjadi dan menjadi perbincangan sesama mahasiswa saja baru bisa disuarakan akhir-akhir ini hingga ada korban yang melaporkan tetapi dipaksa bungkam oleh pihak universitas. Apabila membahas tentang relasi kuasa antar korban dan pelaku sangat berbanding terbalik dengan hakikat manusia ketika dilahirkan ke dunia yang memiliki nilai yang sama. Dalam kehidupan di masyarakat tentunya ada individu atau kelompok yang lebih berkuasa terhadap individu atau kelompok lainnya. Dengan kekuasaan yang dimiliki suatu individu atau kelompok itulah yang sering disalahgunakan untuk memaksa kehendak terhadap para korban meskipun ada perlawanan. Apalagi relasi ditentukan oleh kekuasaan laki-laki atau sering disebut budaya patriarki. Dalam budaya patriarki, laki-laki lebih mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan sehingga pihak perempuan menjadi subjek yang direndahkan atau dianggap kaum inferior harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh pihak-pihak laki-laki.
Sering juga ketika ada korban yang menyuarakan masalahnya mendapat respon negatif dari masyarakat, mereka lebih menyudutkan pihak korban ketimbang pelakunya. Para korban sering disalahkan karena cara berpakaiannya atau tingkah lakunya yang mengundang nafsu pelaku. Terutama perempuan, mereka sering didikte cara berpakaiannya, harus menggunakan baju sopan menutup aurat juga. Padahal korban ada yang sudah menjaga cara berpakaiannya juga masih tetap mengalami kekerasan sosial, tetapi masih saja ada celah untuk menyalahkan korban. Mereka beranggapan setelah diajak seperti itu pasti merasakan kenikmatan juga dan dianggap munafik apabila tidak ikut merasakannya juga.
Paradigma yang ada di masyarakat kita juga masih terlalu kuno, mereka terlalu mengagung-agungkan mereka. Laki-laki diberi posisi istimewa yang menjadikan keistimewaan itulah menganggap perempuan sebagai objek seks saja. Ketimpangan gender, laki-laki dengan perempuan, itulah yang menjadi asal muasal kekerasan itu terjadi juga. Ada pula anggapan “Boys will be boys”, terbentuk karena suatu konsep dalam masyarakat bahwa laki-laki harus terlihat jantan. Anggapan tersebut merupakan suatu budaya yang diskriminatif, karena pemikiran seperti itu kemudian membuat kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi.
Akibat hal-hal seperti itulah yang membuat para korban kekerasan seksual di kampus bungkam. Belum lagi rasa malu yang harus mereka tanggung akibat melaporkan kekerasan yang telah dialaminya, para korban akan dipandang sebelah mata serta untuk berkegiatan di kampus pun menjadi sangat terbatas mereka bisa merasa terintimidasi. Yang dikhawatirkannya juga hal tersebut dapat berimbas kepada kesehatan mental para korban, mengubah kepribadian menjadi lebih tertutup karena merasa lingkungan di sekitarnya sudah tidak terasa aman lagi. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh para dosen juga membuat korban makin tersiksa karena mendapat ancaman nilai mereka akan turun. Apabila mereka menuruti kemauan pelaku akan dijanjikan bonus nilai di mata kuliah yang diampunya.
Setelah banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus yang viral di media sosial dan telah menjadi perhatian publik seharusnya harus mulai ada penanganan langsung dari pemerintah. Membuat peraturan untuk melindungi para korban kekerasan seksual dan juga hukuman untuk para pelakunya. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makariem, apabila pelaku telah terbukti melakukan kekerasan seksual seharusnya langsung dikeluarkan. Namun, Kemendikbud tidak memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan mengenai kasus kekerasan seksual, tetapi ia menekankan untuk menindaklanjuti pelaku dan melindungi korban. Pihak kampus seharusnya memberikan perhatian lebih kepada korban kasus pelecehan seksual, karena Perguruan Tinggi seharusnya memberikan edukasi dan informasi mengenai pelecehan seksual, keadilan hukum, serta memastikan proses untuk melapor mudah diakses juga apabila mengutip dari Helen Marshall, perwakilan lembaga kesehatan seksual.
Ketika korban melaporkan masalah yang dialaminya kepada pihak kampus, seharusnya mereka siap mendengarkan dan memenuhi kebutuhan korban. Pihak universitas dapat memberikan opsi-opsi apa saja yang dapat dipilih oleh korban dan pelapor juga memiliki hak untuk memilih ke mana laporan tersebut akan dibawa. Karena kualitas respon dari universitas akan berdampak juga terhadap kesejahteraan penyintas.
Oleh: Anggarini Marsya Rinugraha
(Open Submission Kastrat Eksternal Kementrian Kajian Strategis)
References
Adinda, P. (2020, Februari 15). Bagaimana Cara Menangani Kekerasan Seksual di Kampus? Retrieved from asumsi.co: https://asumsi.co/post/4046/bagaimana-cara-menangani-kekerasan-seksual-di-kampus
Soejoerti, A. H., & Susanti, V. (2020). Memahami Kekerasan Seksual dalam Menara Gading di Indonesia. Community Pengawas Dinamika Sosial, 6(2), 207-221.