Pada dasarnya pendidikan adalah pondasi utama suatu bangsa dalam memerdekakan hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh setiap negara untuk menggapai tujuannya. Pendidikan adalah aktivitas untuk menghasilkan manusia merdeka, baik merdeka secara fisik, mentah, dan rohani (Dewantara, 2004). Kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib damai kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyarawah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin. Selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, konsep pendidikan ‘jiwa yang merdeka’ masih relevan dalam membentuk kualitas individu atau sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang.
Konsep ‘jiwa yang merdeka’ menganggap bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya adalah memerdekakan hidup dan kehidupan anak baik lahir maupun batin. Dalam pandangan yang ideal, individu yang merdeka maka pastinya akan memiliki jiwa yang merdeka, dan dalam jiwa yang merdeka terdapatlah unsur cipta, rasa, dan karsa.
Dewasa ini, sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami perkembangan dan bertransformasi. Hal itu disebabkan oleh masuknya arus globalisasi, dan perkembangan IPTEK yang pesat. Di era Revolusi Industri 4.0 ini mengubah dan menuntut hidup serta kerja manusia secara mendasar. Karenanya dalam sektor pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mencetuskan kebijakan Kampus Merdeka. Kampus Merdeka memiliki banyak jenis kegiatan, yaitu pertukaran pelajar, magang, Asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, proyek independen, membangun desa/kuliah kerja nyata tematik. Tapi pada kenyataannya, program ini hanya menyasar kepada mahasiswa, tidak ke para pemangku kepentingan di kampus yang sejatinya mengawal kebijakan ini.
Tercetusnya kebijakan Kampus Merdeka, ternyata tidak selaras dengan kondisi beberapa universitas di Indonesia saat ini. Banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada mahasiswa dan aktornya adalah para dosen di kampus mereka itu sendiri. Program Kampus Merdeka yang seharusnya memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada mahasiswa, tetapi akhir-akhir ini banyak para dosen yang krisis akan integritas dan moralitas, serta pada akhirnya merenggut kesempatan dari kebijakan tersebut. Apalagi di era pandemi COVID-19 yang notabenenya kegiatan secara luring diminimalisasi, tetapi justru banyak kasus yang mencuat di media sosial. Apa yang sebenarnya terjadi?
Pada 26 September 2021, muncul cuitan di Twitter tentang pelecehan yang dilakukan oleh dosen yang berinisial AR terhadap beberapa mahasiswa di Universitas Sriwijaya (Unsri). Setelah mendapat atensi dari banyak pihak, serta pendampingan oleh BEM Unsri, pada 6 Desember 2021, Ditreskrimum Polda Sumsel menahan dosen tersebut usai menjalani pemeriksaan. Dosen berinisial AR juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Dari hasil olah TKP pada Rabu (1/12), pelecehan terjadi di ruang Laboratorium Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Unsri di Indralaya, Sumatera Selatan, dimana pelaku memaksa korban untuk memegang kemaluannya hingga orgasme. Apakah perilaku tersebut patut ditoleransi? Padahal pada saat itu, mahasiswa yang dilecehkan hendak melakukan bimbingan skripsi, namun lantaran akal busuk dari dosen yang memiliki ‘penyakit’ moral, maka hak mahasiswi tersebut untuk menggapai cita-citanya pada akhirnya menjadi pengalaman buruk.
Kasus yang kedua terjadi di Universitas Riau (Unri) yang diawali dengan postingan Instagram Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau (Komahi Unri) mengunggah video berisi pengakuan mahasiswi yang dilecehkan oleh Dekan FISIP pada awal November 2021. Dari video tersebut, tersurat bahwa pelaku mencium pipi dan kening kemudian mengatakan “mana bibir, mana bibir”. Korban mendorong pelaku dan meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan takut dan gemetar. Korban sempat menghubungi sekretaris jurusan untuk melaporkan kejadian tersebut dan meminta agar mengganti dosen pembimbing. Tapi yang terjadi, korban justru “diminta untuk tidak memberitahu kejadian itu kepada siapa pun”. “Korban juga dihubungi oleh pelaku sehingga semakin tertekan.” Hingga pada 5 November 2021, korban melaporkan terduga pelaku ke Mapolresta Pekanbaru. Meskipun begitu, pelaku malah melaporkan kembali mahasiswi yang menudingnya melakukan pelecehan seksual dan kemudian laporan tersebut tidak terima karena kurang lengkapnya bukti. Hingga pada akhirnya Polda Riau menetapkan dosen yang berinisial SH tersebut menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana pencabulan terhadap mahasiswinya.
Melihat beberapa contoh kasus pelecehan seksual yang mulai terungkap di lingkup perguruan tinggi, maka perlu adanya tindakan preventif dalam menanggapi permasalahan semacam ini. Adapun indikator yang harus menjadi poin penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di dunia kampus, meliputi a) Upaya pencegahan haruslah bersifat komprehensif yang artinya strategi dan pendekatan yang dilakukan harus bisa saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain yang terlibat di kampus; b) Infrastruktur yang kuat, artinya dibutuhkan sistem organisasi, struktur atau kelembagaan yang legal dan efektif dalam mengembangkan strategi pencegahan kekerasan seksual di kampus; c) Penguatan pemahaman, artinya seluruh civitas kampus harus menjadi target penerima dan pengamat pesan-pesan pencegahan, kampanye atau strategi penanggulangan kekerasan seksual; d) Kemitraan dan keberlanjutan, artinya pengembangan kerja penanggulangan kekerasan seksual selalu menjalin koordinasi secara sehat dengan pemangku kebijakan dan mitra kerja eksternal kampus untuk selalu memperkuat, mengoordinasikan dan menyelaraskan upaya pencegahan kekerasan seksual agar bisa berkelanjutan dari waktu ke waktu, dan; e) Evaluasi aksi, artinya harus ada model evaluasi berkala tentang tingkat keberhasilan program, kebijakan, atau praktik penanggulangan kekerasan seksual di kampus. Terkini, langkah nyata sebagai jawaban kegelisahan banyak pihak yang diambil pemerintah dari Kemendikbudristek adalah berkomitmen untuk mengeradikasi “tiga dosa besar” dalam dunia pendidikan yakni perundungan, intoleransi dan kekerasan seksual melalui penetapan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Oleh: Kirey Kawuri
(Open Submission Kastrat Eksternal Kementrian Kajian Strategis)
REFERENCES
Dewantara, K. (2004). Karya K.H Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Kuswandi, Dedi. 2005. Pengejawantahan Konsep-Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara di Lingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka
https://www.instagram.com/komahi_ur/tv/CV1_VbYJewX/?utm_medium=copy_link