Dewasa ini, media sosial dan kanal berita digegerkan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Menjamurnya kasus tersebut tidak hanya dalam lingkup masyarakat besar saja, tetapi dalam lingkungan kehidupan sehari-hari juga, seperti dalam rumah tangga, komunitas atau organisasi, bahkan dalam lembaga pendidikan, tidak terkecuali perguruan tinggi. Orang tua, kerabat, teman, pacar, bahkan guru maupun dosen dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat teraman untuk mengekspresikan bakat minat dan mendapatkan ilmu, ternyata dapat ‘disulap’ menjadi sarang predator yang membahayakan bagi mahasiswa perempuan. Pasalnya, telah banyak dilaporkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus di mana korban umumnya adalah para mahasiswi, seperti dilansir dari berita Nasional Kompas pada November lalu, setidaknya pada periode Maret 2019 hingga Mei 2020 sebanyak puluhan kasus kekerasan seksual telah dilaporkan kepada Direktorat Advokasi ‘HopeHelps’ UI. Tak terhitung berita dan sosial media yang mengabarkan kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa di kampus. Fenomena ini tampaknya seperti gunung es yang tidak pernah habis dan kasus yang sudah terlihat hanya bagian atasnya saja. Masih banyak kasus yang tertutup rapat dan tidak tercium media, sebab menyembunyikan dan membiarkan adalah jalan teraman yang biasanya dilakukan. Terlebih lagi adanya laporan mengenai kasus kekerasan seksual dari mahasiswanya adalah aib bagi pihak universitas. Dalam esai ini, akan dipaparkan mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Pelecehan seksual merupakan tindak kekerasan berbasis gender yang merupakan bentuk ketidakadilan di mana seringnya yang menjadi korban adalah perempuan. Kekerasan seksual juga termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan sebab dapat mengakibatkan kerusakan fisik, psikis, bahkan hilangnya nyawa. Fenomena kekerasan seksual sebetulnya bukanlah hal yang baru terjadi, sudah sejak lama fenomena ini meluas di masyarakat dan mayoritas korbannya adalah perempuan. Seperti pada masa penjajahan Jepang. Dilansir dari BBC News Indonesia pada tahun 2017, ratusan ribu perempuan dan bahkan anak-anak perempuan di kawasan Asia diperkosa dan dijadikan budak seks yang disebut ‘lanfu’ oleh tentara Jepang. Pada zaman sekarang, kekerasan seksual tidak hanya terjadi dalam lingkup masyarakat luas, melainkan sudah merambat ke dalam instansi pendidikan. Pelakunya pun merupakan guru, dosen, pengampu, pengajar yang ada dalam lembaga tersebut.
Fenomena gunung es kekerasan seksual
Kampus sebagai lembaga tertinggi dan terhormat dalam institusi pendidikan memiliki peran fundamental yang dimaut dalam Tri Darma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Sebagai penjaga gerbang kebenaran dan institusi yang terhormat, kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mahasiswa dalam mencari ilmu pengetahuan sekaligus mencetak generasi bangsa yang bermoral dan intelektual. Namun pada kenyataannya, yang digadang-gadangkan sebagai penjaga gerbang kebenaran justru menyimpan segudang kasus kekerasan seksual. Banyaknya laporan dan berita mengenai kekerasan seksual di kampus telah menandakan bahwa kampus bukanlah tempat yang aman bagi para mahasiswi. Seperti dikutip dari berita Nasional Tempo pada Desember tahun ini, tercatat setidaknya 4 perguruan tinggi negeri di Indonesia telah dilaporkan terkait kekerasan seksual yang dialami mahasiswinya dengan pelaku yang tidak lain adalah civitas akademikanya sendiri. Dalam laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual di Institusi Pendidikan Tinggi setiap tahunnya. Predator seksual yang bersembunyi di balik etika moralitas yang palsu masih ada di setiap sudut kampus. Namun, apakah hanya yang tercatat oleh data dan tercium oleh media saja total kasus yang sebenarnya terjadi? Tentu saja jika dilakukan penelusuran lebih jauh, pasti masih banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan dan disembunyikan lalu dibiarkan begitu saja. Alasannya sangat banyak, menurut aktivis perempuan, Damaira Pakpahan mengatakan sejumlah alasan antara lain korban kekerasan seksual tidak berani untuk melaporkan kejadian dikarenakan adanya kuasa atau power yang dimiliki oleh pelaku, selain itu pengakuan terhadap adanya tindak kekerasan seksual di dalam kampus dapat menimbulkan aib dan memalukan institusi sehingga kerap kali kasus yang telah dilaporkan oleh korban disembunyikan dan dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindak lanjut dari pihak universitas. Tak hanya itu, alasan lain adalah tidak adanya payung hukum yang memadai menjadikan korban enggan untuk speak up terkait apa yang dialaminya sebab dirasa akan sia-sia, dan masih banyak alasan lain. Hal tersebut menjadikan pelaku dengan leluasa menjalankan aksinya tanpa ada rasa takut dan bersalah. Tidak akan ada laporan yang sampai ke meja hijau karena tidak ada instrumen hukum yang mengatur tindak kekerasan seksual.
Permendikbud No 30 opsi terbaik
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual di lingkup kampus? Menjawab pertanyaan ini, seharusnya negara dan pihak kampus itu sendiri lah yang sudah semestinya berperan aktif dalam menekan dan mengangani kasus tersebut. Produk kebijakan negara merupakan salah satu bentuk keterlibatan negara yang diharapkan dapat menjadi payung bagi para korban kekerasan seksual. Sementara itu, pihak kampus dapat menyediakan lembaga pengaduan bagi mahasiswa yang mengalami tindakan kekerasan seksual dan tentunya dibutuhkan transparansi agar kasus terkait dapat diketahui oleh banyak pihak dan minimalnya pelaku diberikan sanksi sosial oleh masyarakat maupun sanksi dari pihak kampus.
Belum lama ini, kondisi zero tolerance kekerasan seksual di kampus telah digagas oleh pemerintah sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 Tahun 2021 dengan tujuan melindungi mahasiswa dari tindak kekerasan seksual di lingkup kampus, sehingga tercipta lingkungan yang nyaman bagi kegiatan akademik. Permendikbud ini sangat ditunggu sebab diharapkan dapat menekan bahkan menghentikan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, yang terjadi adalah ada saja pihak-pihak yang menolak dengan tegas permendikbud ini. Padahal jika kita melihat instrumen hukum lain, kekerasan seksual hanya ditempatkan sebagai kejahatan kesusilaan saja, sehingga Permendikbud No 30 dapat dikatakan sebagai satu-satunya perisai hukum dalam penanganan serta pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Penolakan didasarkan pada tafsiran bahwa peraturan tersebut melegalkan zina dan seks bebas sebab dalam salah satu pasal disebutkan kekerasn seksual yang diatur dalam peraturan ini harus tanpa persetujuan korban. Barangkali pihak kontra menginginkan adanya larangan terhadap tindakan seksual yang terjadi di luar institusi perkawinan, namun tentu saja Permendikbud tidak dapat mencakupi hal tersebut. Mengingat banyaknya fenomena kekerasan seksual di kampus, baik yang tercatat data maupun yang tidak dilaporkan, alangkah baiknya kita berpikir bahwa mengesahkan Permendikbud No 30 ini merupakan opsi terbaik yang ada saat ini.
Mencuatnya kasus kekerasan seksual di dalam instansi perguruan tinggi menjadikan lembaga tersebut tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi para mahasiswa dalam menjalankan kegiatan akademik. Orang tua mengamanahkan universitas agar dapat menjadikan anak-anaknya sebagai orang yang berpendidikan, namun nahasnya malah menjadi korban pelecehan seksual. Hal ini tentu saja harus ditindak secara penuh oleh hukum yang tegas, mengingat kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan di mana dapat mengakibatkan korbannya mengalami luka fisik, psikis, bahkan kehilangan nyawa. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi peri kemanusiaan, sudah seharusnya negara ini melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual. Begitu pula kampus yang diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman.
Oleh Sabina Putri Aulia
(Open Submuission Kastrat Eksternal Kementrian Kajian Strategis)
DAFTAR PUSTAKA
Humas FHUI. (2021, November 13). Predator Seksual di Kampus oleh Prof. Sulistyowati Irianto. Retrieved 12 11, 2021, from https://law.ui.ac.id/v3/predator-seksual-di-kampus-oleh-prof-sulistyowati-irianto/
Ada Puluhan Laporan Kekerasan Seksual di UI: Pelecehan Fisik, Verbal, hingga Virtual Halaman all. (2021, November 13). Kompas.com. Retrieved December 11, 2021, from https://nasional.kompas.com/read/2021/11/13/16265881/ada-puluhan-laporan-kekerasan-seksual-di-ui-pelecehan-fisik-verbal-hingga?page=all
Deretan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus. (2021, December 10). Nasional Tempo.co. Retrieved December 11, 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1537859/deretan-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-di-kampus
KOMNAS PEREMPUAN. (2020, March 6). Komnas Perempuan. Retrieved December 11, 2021, from https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1166.1613744528.pdf
Para penyintas perbudakan seks masa penjajahan Jepang yang terlupakan. (2017, January BBC. Retrieved December 11, 2021, from https://www.bbc.com/indonesia/majalah-38477024
SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN. (2021, October 26). JDIH Kemdikbud. Retrieved December 11, 2021, from https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf
TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI – Fakultas Teknik. (n.d.). Fakultas Teknik – Universitas Tidar. Retrieved December 11, 2021, from https://ft.untidar.ac.id/tri-dharma/
Urgensi Permendikbud 30 dalam Upaya Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus. (2021, November 10). Nasional Tempo.co. Retrieved December 11, 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1526911/urgensi-permendikbud-30-dalam-upaya-mencegah-kekerasan-seksual-di-kampus