Kekerasan verbal sejatinya merupakan perhatian serius. Namun, nyatanya justru tidak dianggap sebagai suatu kekerasan. Dalam banyak situasi kekerasan verbal juga dilihat sebagai lelucon. Artinya kekerasan verbal dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Adapun kekerasan verbal dapat terjadi dimana saja, tidak terkecuali di lingkungan kampus, yang berisi orang-orang intelek. Di samping itu, kekerasan verbal juga dapat dilakukan siapapun, khususnya di lingkungan kampus, tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh dosen. Tujuan penulisan esai adalah untuk menganalisis tentang kekerasan verbal di kampus yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa.

Kekerasan verbal adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang berupa kata-kata yang dapat menyakiti orang lain. Adapun kekerasan ini termasuk dalam kekerasan psikis. Hal ini sejalan dengan pendapat Werdiningsih (2016: 103) mengatakan bahwa kekerasan psikis merupakan suatu tindakan berupa penyiksaan secara verbal atau dalam bentuk kata-kata, contohnya menghina, berkata kasar, kotor, memfitnah, dan sebagainya. Dimana hal ini akan mengakibatkan penurunan kepercayaan, peningkatan rasa takut, hilangnya keberanian dalam bertindak, serta rasa tidak berdaya. Artinya akibat yang didapatkan korban meliputi segala aspek, yaitu fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan sosial.

Lingkungan kampus sejatinya adalah suatu tempat dimana semua subyek di dalamnya menggunakan etika sikap ilmiah. Artinya segala sesuatu yang dilakukan harus berdasar pada suatu data maupun cara pikir logis. Dimana semua bebas berargumen sesuai dengan pegetahuan yang dimiliki dengan catatan tanpa ada penyerangan secara personal. Kondisi tersebut tentu sudah selayaknya ada. Hal ini karena lingkungan kampus berisi orang-orang intertual yang paham etika sikap ilmiah dan cara pikir logis.

Tentu, menjadi pertanyaan besar ketika di lingkungan kampus yang notabenenya berisi orang intelek, justru terjadi kekerasan verbal. Berikut beberapa faktor yang mendasari adanya kekerasan verbal di lingkungan kampus. 

Pertama, adanya perbedaan modal (remittance) antara mahasiswa dengan dosen. Modal yang dimaksud disini berupa modal ekonomi, modal sosial dan modal budaya serta modal simbolik. Dilihat dari modal ekonomi, tentu dosen memiliki modal ekonomi lebih besar. Adapun modal ekonomi yang dimaksud berupa uang, aset dan barang. Dalam lingkup ini dosen dipandang sebagai seseorang yang sudah memiliki penghasilan. Sedangkan mahasiswa dipandang sebagai seseorang yang belum memiliki penghasilan. Otomatis ketika dosen melakukan kekerasan verbal, mahasiswa hanya bersikap menerima, tanpa ada perlawanan.ini menjadi masuk akal karena adanya perbedaan modal yang dimiliki, sehingga rasa takut muncul di pihak yang lebih lemah.

Dilihat dari modal sosial, dalam hal ini diartikan sebagai jaringan ataupun relasi yang dimiliki seseorang. Tentu terlihat jelas bahwa dosen memiliki suatu jaringan yang lebih besar daripada mahasiswa. Selanjutnya, dari modal budaya. Dosen memiliki modal budaya yang lebih besar. Adapun modal budaya yang dimaksud berupa pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki dosen dipandang lebih banyak daripada mahasiswa. Jelas saja, seorang dosen tentu setidaknya sudah bergelar S2. Berbeda dengan mahasiswa yang belum atau memiliki gelar yang lebih rendah. Artinya ketika dosen melakukan kekerasan verbal, mahasiswa hanya dapat diam karena menganggap dosen memiliki pengetahuan yang lebih banyak.

Aspek modal yang terakhir yaitu berupa modal simbolik. Modal simbolik yang dilihat berupa reputasi dan prestasi yang dimiliki. Melihat dari kenyataan yang ada tentu dosen memiliki modal simbolik yang lebih besar. Hal ini dibuktikan dengan jabatan yang dimiliki oleh dosen.

Kedua, pertemuan ranah antara dosen dan mahasiswa. Tempat dari hubungan antara individu yang satu dengan yang lain terjadi adalah ranah yang dimaksud. Ranah disini lebih mudah dikatakan waktu perkuliahan yang dilaksanakan di suatu ruang, baik offline maupun online. Dimana dalam ranah inilah terjadi suatu pertukaran, regulasi dan konflik yang semua itu memainkan modal yang dimiliki kedua pihak. Tentu, jika kemudian terjadi pertukaran, regulasi dan konflik, dapat diprediksi bahwa dosen memiliki peluang untuk menang lebih tinggi. Hal ini karena modal yang dimiliki dosen lebih besar. Lagi, kelas perkuliahan dapat pula dianggap sebagai tempat kekuasaan penuh dosen. Sehingga, tidak ada ruang bagi mahasiswa untuk berkata tidak. 

Ketiga, adanya habitus. Habitus tercipta baik dari sisi dosen maupun mahasiswa. Habitus ini merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki seseorang yang berasal dari lingkungannya. Hal ini terbentuk melalui proses yang terus-menerus terjadi dan menghasilkan suatu kebiasaan. Adapun motif dan niat ini di bawah pengendalian. Dimana ranah sebagai latar belakang terciptanya habitus. Berdasar dari penjelasan mengenai habitus, tentu ketika terdapat dosen yang melakukan kekerasan verbal yang mana dilakukan berulang-ulang di kelas perkuliahan. Maka, hal ini dipandang sebagai kebiasaan dan wajar.

Keempat, terbentuknya doxa. Doxa adalah suatu pemikiran ataupun nilai yang sudah ada sejak lama tanpa ada yang memperdebatkan mengenai asal-usulnya dan kebenarannya. Dimana doxa ini memiliki nilai. Nilai inilah yang terkandung dan dapat dikatakan berlaku di dalam ranah. Contohnya dalam perkuliahan terdapat nilai kesopanan. Dimana kemudian ketika terdapat dosen yang melakukan kekerasan verbal, maka mahasiswa akan merasa melawan nilai kesopanan yang ada jika menyanggah atau mencoba membenarkan. Hal ini karena takut dianggap melawan dosen.

Kelima, adanya jarak usia yang terlalu jauh. Faktor jarak usia memang tidak dapat dipastikan secara general akan terjadi kekerasan verbal pada semua hubungan mahasiswa dengan dosen. Namun, melihat dari kenyataan yang ada, dosen dengan usia yang lebih tua, biasa memiliki pemikiran yang sulit untuk mendengar pendapat mahasiswa dan merasa paling benar.

Berdasar pada faktor yang ada, terdapat satu contoh dosen yang melakukan kekerasan verbal dalam perkuliahan. Adapun kekerasan verbal yang dilakukan berupa pengeluaran kata cemeng, yang dalam bahasa Indonesia berarti anak kucing. Kata ini dikatakan ketika ada mahasiswa yang melakukan presentasi secara online, akan tetapi suara yang dikeluarkan kurang jelas. Pada situasi ini tidak dapat dikatakan sebagai lelucon semata karena ekspresi dan nada dosen tersebut terkesan kesal. Lebih lanjut, pengeluaran kata-kata berupa istilah yang mengandung makna yang terkesan buruk ini dilakukan di setiap pertemuan kelas. Dampaknya mahasiswa menjadi tertekan sacara mental saat harus melakukan komunikasi dengan dosen tersebut.

Melihat bagaimana situasi kekerasan verbal terjadi, tentu perlu adanya suatu solusi dalam permasalahan tersebut. Terdapat tiga solusi dalam mengatasi kekerasan verbal di lingkungan kampus. Pertama, adanya kesadaran bersama mengenai modal yang dimiliki tiap individu. Bahwa modal yang dimiliki tidak membuat seseorang menjadi bisa merendahkan orang lain. Kedua, adanya keberanian dari mahasiswa untuk mengatakan suatu bentuk kekerasan verbal yang dilakukan dosen. Ketiga, adanya suatu sistem penilaian dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. Sehingga pihak kampus dapat mengetahui bila ada kekerasan verbal yang terjadi. Maka, langkah pencegahan, penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan verbal dapat dilakukan secara sistematis.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang mendasari adanya kekerasan verbal di lingkungan kampus, yaitu adanya perbedaan modal (remittance) antara mahasiswa dengan dosen, pertemuan ranah antara dosen dan mahasiswa, adanya habitus, terbentuknya doxa dan adanya jarak usia yang terlalu jauh. Terdapat pula contoh kasus kekerasan verbal berupa pengucapan kata cemeng. Adapun terdapat tiga solusi dalam mengatasi kekerasan verbal di lingkungan kampus, yaitu adanya kesadaran bersama mengenai modal yang dimiliki tiap individu, adanya keberanian dari mahasiswa untuk mengatakan suatu bentuk kekerasan verbal yang dilakukan dosen dan adanya suatu sistem penilaian dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. 

Oleh: Razita Sabrina Filzah

(Open Submission Kastrat Eksternal Kementrian Kajian Strategis)

DAFTAR PUSTAKA

Weininger, Elliot. (-). Pierre Bourdieu on Social Class and Symbolic Violence. 119-167.

Muis, Tansil dkk. (2011). Bentuk, Penyebab, dan Dampak dari Tindak Kekerasan Guru Terhadap Siswa dalam Interaksi Belajar Mengajar dari Perspektif Siswa di SMPN Kota Surabaya: Sebuah Survey. Jurnal Psikologi: Teori & Terapan. 1(2), 63-73.

Muhammad, R dkk. (2021). Kekerasan Verbal Berupa Labeling oleh Mahasiswa di Universitas Jember: Suatu Kajian Psikolinguistik. (23), 301-321.